Beranda | Artikel
20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 3)
Sabtu, 2 April 2022

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel 20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 2).

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Kalimat perintah namun maknanya adalah doa

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} terdapat perintah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Kata tunjukilah” di sini adalah kata perintah, akan tetapi maksudnya adalah untuk memohon atau berdoa. Oleh karena itu, dapat kita artikan sebagai, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu petunjuk jalan yang lurus”.

Rahasia kata kerja berobjek tanpa ditambahi dengan huruf jar

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}, terdapat kata kerja perintah yang memiliki dua obyek kami dan Ash-Shiroth Al-Mustaqim. Di antara kata kerja perintah {ٱهۡدِ} dan obyek {ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} tidak diiringi dengan huruf jar sebagaimana pada ayat lainnya. Alasannya karena pada ayat ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu:

Pertama, {اِهْدِنَا إلى الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم}, maksudnya teguhkanlah kami di atas agama Islam (jalan lurus);

Kedua, {اِهْدِنَا في الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم}, maksudnya tunjukilah kami penjelasan secara detail tentang agama Islam, baik syariatnya maupun pengamalannya [1].

Selain itu, ayat ini juga mengandung permohonan agar dipahamkan ilmu agama yang baik dan dapat mengamalkan amalan saleh. Oleh karena itu, maksud keseluruhan ayat ini adalah memohon agar diteguhkan di atas agama Islam, di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan memohon agar dijauhkan dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Begitu juga memohon agar diberikan tambahan ilmu syariat ajaran Islam dan penjelasan terkait bagaimana mengamalkannya.

Memohon sesuatu yang maksudnya bukanlah agar didapatkannya sesuatu tersebut

Dalam ayat ke-6, terdapat permohonan agar ditunjukkan jalan yang lurus. Maksud dari ayat tersebut bukan memohon untuk diberikan jalan yang lurus, karena sejatinya seorang muslim telah meniti jalan yang lurus. Akan tetapi, maksud ayat tersebut adalah bertujuan agar dia dapat istikamah berjalan di jalan yang lurus dan agar dia dapat menyempurnakan agamanya.

Allah Ta’ala berfirman,

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6).

Ayat ini bukan memiliki maksud agar diberikan petunjuk masuk ke dalam agama Islam (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim). Akan tetapi, maksudnya adalah agar diteguhkan di atas agama Islam dan di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga langgeng sampai akhir hayat. Selain itu, memiliki maksud agar dijauhkan dari segala perkara yang membatalkan keislaman dan agar diberikan tambahan petunjuk ilmu terkait ajaran Islam dan bagaimana cara mengamalkannya.

Adanya kalimat penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang belum dijelaskan (at-tashrih ba’dal ibham) dan kalimat perincian setelah kalimat global (at-tafshiil ba’dal ijmaal)

Pada ayat ke-6 belum dijelaskan apa itu jalan yang lurus. Penjelasan ayat tersebut terdapat pada ayat selanjutnya, ayat ke-7. Allah Ta’ala berfirman,

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS. Al-Fatihah: 7).

Ulama Bahasa Arab ada yang menyatakan kata shiraath yang terdapat dalam {صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ} dapat dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan yang berfungsi sebagi penjelasan) [2]. Dengan demikian, kata shiraath pada ayat ke-7 memiliki faedah sebagai penjelasan pada ayat sebelumnya, yaitu ayat ke-6.

Di samping faedah penjelasan At-Tashrih ba’dal ibham, terdapat juga faedah perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal). Hal ini dapat dilihat pada ayat ke-7 yang terdapat perincian apa itu ash-shiraath al-mustaqiim (jalan yang lurus).

Baca Juga: Sembilan Faedah Surat al-Fatihah (1)

Hikmah penjelasan dan perincian setelah disebutkan kalimat global

Seorang yang membaca ayat ke-6 yang masih global akan menunggu-nunggu dan penasaran terhadap penjelasan pada ayat ke-7. Sehingga ketika ia membaca ayat ke-7 akan siap jiwa dan pikirannya dalam merenungi kandungannya dan demikian besar perhatiannya terhadap ayat tersebut.

Hal ini semua sangat membantu pemahaman pembacanya, karena disamping ayat ke-7 mengandung keterangan yang jelas dengan rinci, juga hati, pikiran, jiwa dan perhatiannya telah siap merenunginya.

Rahasia badal yang ada pada {صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ}

Ulama Bahasa Arab menyatakan kata shiraath yang terdapat dalam {صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ} di samping bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan yang berfungsi sebagai penjelasan), juga bisa diartikan sebagai badal (pengganti). Mengartikan kata shiraath sebagai badal (pengganti) memiliki maksud penegasan makna karena mengandung makna pengulangan.

Kata {ٱهۡدِنَا} pada ayat ke-6 dan ke-7 seolah-olah ingin menjelaskan,

اهدِنا الصِّراط المستقيم، اهدِنا صراطَ الذين أنعمۡت علیهم

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Tunjukilah kami jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.”

Sehingga menegaskan benar-benar bahwa ash-shiraath al-mustaqiim (jalan yang lurus) adalah jalan orang-orang yang telah Allah Ta’ala beri nikmat, yaitu jalan yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum [3]. Ikutilah mereka dan janganlah menjadi orang yang menyelisihi jalan mereka [4].

Rahasia al-hadzfu: tidak disebutkannya kata {صِرَ ٰ⁠طَ} pada {غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّین}

Sebenarnya kalimat pada ayat terakhir ini disebutkan kata shiraath dua kali, yaitu:

غير صراط المغضوب عليهم، وغير صراط الضالين

Akan tetapi, tidak disebutkan demikian. Sehingga hal ini mengandung keindahan bahasa karena kalimatnya menjadi singkat dan padat makna, serta mudah dipahami dengan gaya bahasa yang mengandung keterikatan makna yang selaras.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah

Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada {غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}

Allah Ta’ala berfirman,

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai.” (QS. Al-Fatihah: 7)

Pada ayat {صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ} itu dinyatakan dengan jelas bahwa pemberi nikmat adalah Allah Ta’ala. Kata ganti {أَنۡعَمۡتَ} adalah “Engkau”. Sedangkan pada {غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ} tidak disebutkan siapa yang murka. Hanya disebutkan keterangan “bukan jalan orang-orang yang dimurkai”.

Menghindarkan penyandaran murka kepada Allah Ta’ala merupakan bentuk adab dan kesantunan yang tinggi kepada Allah yang menciptakan dan mengatur seluruh makhluk.

Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ke-1 sampai ke-4, disebutkan pihak ketiga (dhamiir ghaibah), yaitu pihak yang dibicarakan atau diberitakan.

Allah Ta’ala berfirman,

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (1) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

“(1) Dengan menyebut hanya seluruh nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam, (3) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (4) Pemilik Hari Pembalasan.” (QS. Al-Fatihah: 1-4).

Pada ayat-ayat ini, dikabarkan tentang Allah Ta’ala dengan bentuk dhamiir ghaibah (pihak ketiga, pihak yang sedang dikabarkan).

Sedangkan pada ayat ke-5, seruan (khithaab) ditujukan kepada pihak kedua (mukhaathab), yaitu pihak yang diajak bicara. Pada ayat ini, pihak yang diajak bicara adalah Allah Ta’ala. Hal ini diungkapkan dengan huruf {كَ} yang artinya Engkau. Allah Ta’ala berfirman,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ  (5)

“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).

Padahal bisa saja pada seruan (khithaab) ayat ke-5 ditujukan kepada pihak ketiga Dia, misalnya,

إِيّاه نعبد وإِيّاه نستعينُ

“Hanya kepada Dia-lah kami menyembah dan hanya kepada Dia-lah kami mohon pertolongan.”

Allah Ta’ala tidak berfirman begitu, tetapi beralih dari pihak yang sedang dibicarakan Dia (pada ayat ke-1 sampai ke-4) kepada pihak yang diajak bicara Engkau (pada ayat ke-5).

Ini adalah sebuah keindahan bahasa yang mengagumkan karena lebih mengena di hati seorang hamba yang membacanya. Pembacanya akan lebih merasa dekat dengan Allah Ta’ala karena setelah dia memuji Allah Ta’ala pada ayat pertama sampai keempat, lalu seolah-olah dia hadir dihadapan Allah Ta’ala dan menyatakan, “Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.”

Kesamaan akhir kata dalam hal timbangan kata (wazan) dan huruf syair (rowiy)

Hal ini dapat ditemukan misalnya pada,

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ…… ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ….. ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Pada ayat-ayat di atas terdapat kesamaan pada akhir kata di setiap ayat. Demikian pula pada kumpulan ayat-ayat di bawah ini,

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ….مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ….إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ….صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Tentulah orang yang memahami ilmu balaghah, khususnya tentang seluk beluk syair dalam bahasa Arab akan sadar bahwa Al-Fatihah ini bukan syair buatan manusia. Al-Fatihah adalah wahyu Allah Ta’ala dan firman-Nya yang tidak ada sedikit pun aib dan kekurangan padanya. Bahkan ia dapat merasakan keindahan yang mengagumkan dan kesempurnaan yang hakiki pada surah yang paling agung dalam Al-Qur’an Al-Karim, yaitu Al-Fatihah.

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Baca Juga:

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/73269-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-3.html